Adalah seorang raja yang bijaksana dan amat sakti, Dewasimha namanya. Ia menjaga istananya yang berkilauan serta dikuduskan oleh api suci Sang Putikewara (Ciwa). Berbahagialah sang Raja Dewasimha karena dewa-dewa telah menganugerahkan dalam hidupnya seorang putera sebagai pewaris mahkotanya. Putra yang kemudian menjadi pelindung kerajaan itu bernama Liswa atau juga dikenal sebagai Gajayana. Adalah Gajayana seorang raja yang begitu dicintai rakyatnya, berbudi luhur dan berbuat baik untuk kaum pendeta serta penuh baktu sesungguh-sungguhnya kepada Resi Agastya.
Sebagai
tanda bakti yang tulus kepada Resi tersebut, sang Raja Gajayana telah
membangun sebuah candi yang permai untuk mahresi serta untuk menjadi
penangkal segala penyakit dan malapetaka kerajaan. Jikalau nenek
moyangnya telah membuat arca Agstya dari kayu cendana, maka Raja
Gajayana sebagai pernyataan bakti dan hormatnya telah memerintahkan
kepada pemahat-pemahat ternama di seantero kerajaan untuk membuat arca
Agastya dari batu hitam nan indah, agar semua dapat melihatnya. Arca
Agastya yang diberi nama Kumbhayoni itu, atas perintah raja yang berbudi
luhur tersebut kemudian diresmikan oleh para Regveda, para Brahmana,
pendeta-pendeta terkemuka dan para penduduk negeri yang ahli, pada tahun
Saka, Nayana-Vava-Rase(682) bulan Magasyirsa tepat pada hari Jum’at
separo terang.
Ia Raja
Gajayana yang perkasa itu adalah seorang agamawan yang sangat menaruh
hormat kepada para pendeta. Dihadiahkannya kepada mereka tanah-tanah
beserta sapi yang gemuk, sejumlah kerbau, budak lelaki dan wanita, serta
berbagai keperluan hidup seperti sabun-sabun tempat mandi, bahan
upacara sajian, rumah-rumah besar penuh perlengkapan hidup seperti :
penginapan para brahmana dan tamu, lengkap dengan pakaian-pakaian,
tempat tidur dan padi, jewawut. Mereka yang menghalang-halangi kehendak
raja untuk memberikan hadiah-hadiah seperti itu, baik saudara-saudara,
putera-putera raja, dan Menteri Pertama, maka mereka akan menjadi celaka
karena pikiran-pikiran buruk dan akan masuk ke neraka dan tidak akan
memperoleh keoksaan di dunia atau di alam lain. Ia, sebaliknya selalu
berdoa dan berharap semoga keturunannya bergirang hati dengan
hadiah-hadiah tersebut, memperhatikan dengan jiwa yang suci, menghormati
kaum Brahmana dan taat beribadat, berbuat baik, menjalankan korban, dan
mempelajari Weda. Semoga mereka menjaga kerajaan yang tidak ada
bandingannya ini seperti sang Raja telah menjaganya.
Raja Gajayana mempunyai seorang puteri Uttejena yang kelak meneruskan Vamcakula ayahandanya yang bijaksana itu.
Cerita di
atas diangkat sari satu prasasti yang bernama “Prasasti Dinaya atau
Kanjuruhan” menurut nama desa yang disebutkan dalam piagam tersebut.
Seperti tertulis di dalamnya, prasasti ini memuat unsure penanggalan
dalam candrasengkala yang berbunyi : “Nayana-vaya-rase” yang bernilai
682 tahun caka atau tahun 760 setelah Masehi.
Apabila
prasasti itu dikeluarkan oleh Raja Gajayana pada tahun 760 sesudah
Masehi, maka paling tidak prasasti itu merupakan sumber tertulis tertua
tentang adanya fasilitas politik yakni berdirinya kerajaan Kanjuruan di
wilayah Malang. Tempat itu sekarang dikenal dengan nama Dinoyo terletak
5 km sebelah barat Kota Malang. Di tempat ini menurut penduduk disana,
masih ditemukan patung Dewasimha yang terletak di tengah pasar walaupun
hampir hilang terbenam ke dalam tanah.
Malangkucecwara berasal dari tiga kata, yakni : Mala yang berarti segala sesuatu yang kotor, kecurangan, kepalsuan, atau bathil, Angkuca yang berarti menghancurkan atau membinasakan dan Icwara yang berarti Tuhan. Dengan demikian Malangkucecwara berarti “TUHAN MENGHANCURKAN YANG BATHIL”.
Walaupun
nama Malang telah mendarah daging bagi penduduknya, tetapi nama tersebut
masih terus merupakan tanda tanya. Para ahli sejarah masih terus
menggali sumber-sumber untuk memperoleh jawaban yang tepat atas
pernyataan tersebut di atas. Sampai saat ini telah diperoleh beberapa
hipotesa mengenai asal-usul nama Malang tersebut. Malangkucecwara yang
tertulis di dalam lambang kota itu, menurut salah satu hipotesa
merupakan nama sebuah bangunan suci. Nama bangunan suci itu sendiri
diketemukan dalam dua prasasti Raja Balitung dari Jawa Tengah yakni
prasasti Mantyasih tahun 907, dan prasasti 908 yakni diketemukan di satu
tempat antara Surabaya-Malang. Namun demikian dimana letak
sesungguhnya bangunan suci Malangkucecwara itu, para ahli sejarah masih
belum memperoleh kesepakatan. Satu pihak menduga letak bangunan suci
itu adalah di daerah gunung Buring, satu pegunungan yang membujur di
sebelah timur kota Malang dimana terdapat salah satu puncak gunung yang
bernama Malang. Pembuktian atas kebenaran dugaan ini masih terus
dilakukan karena ternyata, disebelah barat kota Malang juga terdapat
sebuah gunung yang bernama Malang.
Pihak yang
lain menduga bahwa letak sesungguhnya dari bangunan suci itu terdapat di
daerah Tumpang, satu tempat di sebelah utara kota Malang. Sampai saat
ini di daerah tersebut masih terdapat sebuah desa yang bernama
Malangsuka, yang oleh sebagian ahli sejarah, diduga berasal dari kata
Malankuca yang diucapkan terbalik. Pendapat di atas juga dikuatkan oleh
banyaknya bangunan-bangunan purbakala yang berserakan di daerah
tersebut, seperti candi Jago dan candi Kidal, yang keduanya merupakan
peninggalan zaman kerajaan Singasari.
Dari kedua
hipotesa tersebut di atas masih juga belum dapat dipastikan manakah
kiranya yang terdahulu dikenal dengan nama Malang yang berasal dari nama
bangunan suci Malangkucecwara itu. Apakah daerah di sekitar Malang
sekarang, ataukah kedua gunung yang bernama Malang di sekitar daerah
itu.
Sebuah
prasasti tembaga yang ditemukan akhir tahun 1974 di perkebunan Bantaran,
Wlingi, sebelah barat daya Malang, dalam satu bagiannya tertulis
sebagai berikut : “………… taning sakrid Malang-akalihan wacid lawan macu
pasabhanira dyah Limpa Makanagran I ………”. Arti dari kalimat tersebut di
atas adalah : “ …….. di sebelah timur tempat berburu sekitar Malang
bersama wacid dan mancu, persawahan Dyah Limpa yaitu ………”
Dari bunyi
prasasti itu ternyata Malang merupakan satu tempat di sebelah timur dari
tempat-tempat yang tersebut dalam prasasti tiu. Dari prasasti inilah
diperoleh satu bukti bahwa pemakaian nama Malang telah ada paling tidak
sejak abad 12 Masehi.
Hipotesa-hipotesa
terdahulu, barangkali berbeda dengan satu pendapat yang menduga bahwa
nama Malang berasal dari kata “Membantah” atau “Menghalang-halangi”
(dalam bahasa Jawa berarti Malang). Alkisah Sunan Mataram yang ingin
meluaskan pengaruhnya ke Jawa Timur telah mencoba untuk menduduki daerah
Malang. Penduduk daerah itu melakukan perlawanan perang yang hebat.
Karena itu Sunan Mataram menganggap bahwa rakyat daerah itu
menghalang-halangi, membantah atau malang atas maksud Sunan Mataram.
Sejak itu pula daerah tersebut bernama Malang.
Timbulnya
karajaan Kanjuruhan tersebut, oleh para ahli sejarah dipandang sebagai
tonggak awal pertumbuhan pusat pemerintahan yang sampai saat ini,
setelah 12 abad berselang, telah berkembang menjadi Kota Malang.
Setelah
kerajaan Kanjuruhan, di masa emas kerajaan Singasari (1000 tahun setelah
Masehi) di daerah Malang masih ditemukan satu kerajaan yang makmur,
banyak penduduknya serta tanah-tanah pertanian yang amat subur. Ketika
Islam menaklukkan kerajaan Majapahit sekitar tahun 1400, Patih Majapahit
melarikan diri ke daerah Malang. Ia kemudian mendirikan sebuah
kerajaan Hindu yang merdeka, yang oleh putranya diperjuangkan menjadi
satu kerajaan yang maju. Pusat kerajaan yang terletak di kota Malang
sampai saat ini masih terlihat sisa-sisa bangunan bentengnya yang kokoh
bernama Kutobedah di desa Kutobedah.
Adalah
Sultan Mataram dari Jawa Tengah yang akhirnya datang menaklukkan daerah
ini pada tahun 1614 setelah mendapat perlawanan yang tangguh dari
penduduk daerah ini.
Mengapa Malang?
Sebelum
tahun 1964, dalam lambang kota Malang terdapat tulisan ; “Malang namaku,
maju tujuanku” terjemahan dari “Malang nominor, sursum moveor”. Ketika
kota ini merayakan hari ulang tahunnya yang ke-50 pada tanggal 1 April
1964, kalimat-kalimat tersebut berubah menjadi : “Malangkucecwara”.
Semboyan baru ini diusulkan oleh almarhum Prof. Dr. R. Ng.
Poerbatjaraka, karena kata tersebut sangat erat hubungannya dengan
asal-usul kota Malang yang pada masa Ken Arok kira-kira 7 abad yang
lampau telah menjadi nama dari tempat di sekitar atau dekat candi yang
bernama Malangkucecwara.
Sekilas Sejarah Pemerintahan
Kota malang mulai tumbuh dan berkembang setelah hadirnya pemerintah
kolonial Belanda, terutama ketika mulai di operasikannya jalur kereta
api pada tahun 1879. Berbagai kebutuhan masyarakatpun semakin
meningkat terutama akan ruang gerak melakukan berbagai kegiatan.
Akibatnya terjadilah perubahan tata guna tanah, daerah yang terbangun
bermunculan tanpa terkendali. Perubahan fungsi lahan mengalami
perubahan sangat pesat, seperti dari fungsi pertanian menjadi
perumahan dan industri.
Malang merupakan sebuah Kerajaan yang berpusat di wilayah Dinoyo, dengan rajanya Gajayana.
- Tahun 1767 Kompeni memasuki Kota
- Tahun 1821 kedudukan Pemerintah Belanda di pusatkan di sekitar kali Brantas
- Tahun 1824 Malang mempunyai Asisten Residen
- Tahun 1882 rumah-rumah di bagian barat Kota di dirikan dan Kota didirikan alun-alun di bangun.
- 1 April 1914 Malang di tetapkan sebagai Kotapraja
- 8 Maret 1942 Malang diduduki Jepang
- 21 September 1945 Malang masuk Wilayah Republik Indonesia
- 22 Juli 1947 Malang diduduki Belanda
- 2 Maret 1947 Pemerintah Republik Indonesia kembali memasuki Kota Malang.
- 1 Januari 2001, menjadi Pemerintah Kota Malang